Minimalisme
Pertama kali mengenal minimalisme ketika sedang mencari buku di Gramedia Purwokerto.
Ada sebuah buku yang sampulnya langsung menarik perhatianku. Ditambah lagi judulnya yang bikin penasaran, “Goodbye Things: Hidup Minimalis Ala Orang Jepang”.
Hm… selamat tinggal benda-benda. Apa maksudnya ini?
Dari buku ini mendadak cara pandangku tentang dunia mulai berubah. Apalagi aku dibesarkan di keluarga yang materialistis, sampai ada candaan “Jangan Ngaku Cina Kalau Miskin”.
Walaupun faktanya orang cina juga banyak yang miskin, cuma minoritas jadi kurang tampak.
Di bagian awal buku ini menceritakan kehidupan sang penulis, Fumio Sasaki.
Gila! Ternyata relate banget sama kehidupanku yang dulu membeli sesuatu terkadang bukan karena fungsi tapi karena ingin menunjukkan jati diri dan gengsi.
Aku jadi ingat, beli kamera DSLR Canon 650D karena ingin dikira hobinya fotografi. Haha bodoh sekali.
Gonta-ganti jam tangan mahal biar kelihatan berduit, dan sekarang pakai jam murahan SKMEI aku bisa bahagia. Luar biasa.
Gonta-ganti HP biar selalu terkesan update teknologi. Kalau bukan karena dapat pinjaman HP Oppo A60 untuk pekerjaan, sampai detik ini mungkin aku ga punya HP.
Antara Fungsi dan Gengsi
Dari buku ini aku belajar untuk membedakan antara fungsi dan gengsi. Ini juga yang membuatku sekarang bisa begitu percaya diri pakai jam murah, sandal jepit ke kantor, naik motor tua.
Aku yang dulu pasti malu setengah mati, hahaha bodohnya diriku yang dulu. Seandainya saja buku ini ada 15 tahun yang lalu.
Tidak Bertentangan Dengan Agama Islam
Menurutku sih buku ini aman, tidak ada hal syirik atau bertentangan dengan agama Islam.
Aku harus hati-hati karena aku sangat awam tentang agama, pengalamanku dulu pernah jatuh ke syirik besar (dukun). 😅
Buku ini bisa aku bilang malah selaras dengan ajaran Islam tentang qona’ah dan tawadhu.
Hm.. berarti yang bilang orang Jepang lebih Islami daripada orang muslim itu benar sih. Mereka rapi, teratur, bersih dan kepikiran lho hidup minimalis begini. Heee…




Membuang Barang
Kemudian mulai dibahas tentang “membuang barang”. Konsep seperti ini hampir asing buatku, bahkan di keluargaku sendiri.
Saking asingnya ketika aku praktekan ini, ibu dan istri khawatir karena tiba-tiba aku membakar dan membuang barang-barang.
Penulis ternyata benar! Kita sering tertipu dengan kalimat “nanti pasti terpakai, simpan dulu ah”, padahal tumpukan debu saja sudah menjadi indikator barang tersebut tidak berguna.
Entah berapa banyak barang yang aku sedekahkan, dan betul kata Fumio, kita bahkan lupa pernah membuang barang apa saja. Saking tidak bergunanya barang tersebut.
Hmm…betul juga ya.